Rabu, 15 Juli 2009

Membangun Kesadaran, Mengantisipasi Kutukan Sumber Daya Alam

Kutukan sumber daya alam atau dalam istilah kerennya dikenal dengan resource course, begitu menghantui negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia dan Blora tentu saja. Sebab minyak adalah sumber alam yang sangat besar nilai ekonominya.

Kutukan sumber daya alam sebenarnya adalah, sebuah kondisi dimana sebuah kawasan, daerah atau negara memiliki sumber alam yang besar. Namun sumber daya alam tersebut tidak dikelola secara baik. Sehingga, ketika habis, habis pula pendapatan. Akibatnya sebuah kawasan, daerah atau negara kembali ke titik nol, artinya tidak punya apa-apa.

Kondisi yang demikian tentu saja sangat menakutkan. Bagaimana tidak, jika betul hal ini terjadi maka, kelaparan dan kemiskinan adalah hal tidak terelakkan. Akibat dari itu tentu saja munculnya penyakit sosial masyarakat.

Dalam tulisan ini penulis akan menyampaikan sebuah kondisi yang menurut penulis hal itu masuk dalam kondisi kutukan sumber daya alam. Dan bagi penulis hal itu cukup memberi pelajaran, agar tidak terulang dan dalam skala yang lebih besar.

Masih jelas dalam ingatan saya, sekitar tahun 1998, tepatnya saat era reformasi, masyarakat sekitar rumah saya ”panen” hutan. Karena kebetulan rumah saya tidak jauh dari hutan.

Setiap pagi, rombongan berjumlah ratusan orang pergi ke hutan menebang kayu. Yang digunakan bukan lagi alat sederhana, semcam kapak atau gergaji manual, tetapi sudah memakai senso (gergaji kayu dari mesin). Sesaat kemudian truk lalu lalang keluar masuk hutan mengangkut kayu jati.

Pagi pergi ke hutan, pulang siang hari, sorenya mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup banyak saat itu. Begitu mudah masyarakat mendapatkan uang. Dengan penghasilan tinggi dalam waktu singkat, gaya hiduppun berubah. Para pemuda menghabiskan uang untuk minum-minuman. Dengan uang yang dimiliki mereka terobsesi membeli barang yang tidak bernilai ekonomi. Uang lebih banyak dibelanjakan untuk kebutuhan konsumtif bukan investasi. Misalnya, membeli sepeda motor dan mobil bermerk dengan harga mahal. Serta membangun rumah dengan model mewah untuk ukuran desa.

Sekitar dua tahun setelah itu kondisi berbalik 180 derajat. Hutan jati habis, penghasilanpun habis. Uang yang pernah dimiliki juga sudah habis karena untuk kebutuhan yang sifatnya komsumtif. Tidak ada hasil investasi atau tabungan untuk menyambung kebutuhan ekonomi. Para pemuda kebingungan mendapatkan pekerjaan. Repotnya lagi selama dua tahun pola hidup sudah terbangun sedemikian rupa.

Solusi terakhir tentu saja adalah menjual kembali barang mewah yang dibeli, tentu saja dengan harga yang sudah sangat jauh dari pembelian pertama. Masyarakat kembali ke titik nol. Kembali tidak memiliki apa-apa.

Dari gambaran kecil tersebut, menurut saya cukup memberi pelajaran yang berarti tentang kutukan sumber daya alam. Artinya, masyarakat harus mulai berfikir membuat sebuah perencanaan yang baik, agar ketika ada temuan sumber daya alam hal tersebut tidak terjadi.

Dalam skala yang lebih besar saya ingin menyampaikan tentang kutukan sumber daya alam ini dalam konteks Blok Cepu. Seandainya benar, bahwa dari Blok Cepu, Blora akan mendapatkan sumber dana yang besar. Ada ketakutan pada saya sebagai warga Blora, Pemkab dan masyarakat akan tergagap-gagap dengan banyaknya dana.

Jika kegagapan itu muncul, biasanya yang terjadi adalah perencanaan pembangunan akan disesuaikan dengan bayangan yang terlintas dalam pikiran pada saat memiliki dana yang besar. Biasanya juga pembangunan yang dilakukan yang bersifat monumental, gedung besar, lapangan olahraga, menara, atau patung-patung.

Untuk menghindari hal tersebut, mulai sekarang yang harus dibangun adalah kesadaran. Sehingga ketika hal itu benar-benar terjadi, kita bisa berfikir dengan akal sehat, bukan dengan keinginan sesaat.

Kesadaran dalam konteks pemerintahan tentu saja adalah sebuah perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang partisipatif substantif. Artinya partisipasi yang sesungguhnya. Perencanaan betul-betul dimulai dari bawah. Dan diorientasikan untuk masyarakat bawah. Bukan partisipasi formalis. Partisipasi yang hanya melibatkan banyak orang, tapi tidak jelas orientasinya.

Kesadaran juga bisa diartikan, merumuskan langkah untuk mencapai transparansi. Bagaimana pemerintah punya inisiasi untuk melakukan transparansi tanpa harus ’dipaksa-paksa’.

Sementara kesadaran pada level masyarakat adalah kemauan untuk mulai membuat sebuah langkah perencanaan bagaimana membantu pemerintah agar perencanaan pembangunan bisa partisipasi dalam arti yang sesungguhnya. Menyusun rumusan untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Serta menyusun langkah untuk meminta transparansi kepada pemerintah.

Jika hal ini sudah mulai dilakukan maka sebenarnya kita sudah mulai masuk dalam kesadaran. Dan bila tidak dilakukan maka kita (pemerintah dan masyarakat) berpotensi untuk terjebak pada ketidak sadaran. Pertanyaannya apakah pemerintah dan masyarakat sudah melakukan itu? Yang bisa menjawab tentu saja hanya pemerintah dan masyarakat sendiri. (*)

Berkaca dari persoalan tersebut, Blora akan mendapatkan uang yang melimpah dari minyak yang ada di blok cepu. Kalau Dana dari migas tidak dikelola dengan baik, hanya digunakan untuk menaikan gaji pegawai, meningkatkan tunjangan pegawai, membeli mobil dinas yang mewah atau hanya digunakan untuk pembagungan yang bersifat mercusuar. Membangun stadion yang megah, membangun gedung pertemuan yang bertarap internasional dan lain sebagainya. Daerah yang terkenal dengan satenya ini, nasibnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang kampung yang kebingungan hanya untuk melanjutkan gaya hidupnya.

Ketika Blok cepu masih beropersi, pemerintah mampu menggaji pegawainya, mampu menganggarkan perawatan mobil dinas, mampu merawat gedung-gedung mewah yang sudah dibangun. Tetapi saat minyak sudah habis, APBD akan kembali seperti sebelum ada dana minyak. Dari mana pemerintah mendapatkan dana untuk melanjutkan kegiatan yang sudah menjadi rutinitas tersebut.

Menghindari Kutukan Sumber Daya Alam

Ada beberapa pengalam yang sudah diterapkan di beberapa Negara untuk keluar dari kutukan sumber daya alam, seperti yang telah dilakukan oleh Norwegia. Pemerintahnya menggunakan dana hasil minyak untuk investasi produksi non migas, sebagian yang lain disimpan di bank sebagai cadangan masa depan ysng diperuntukan anak cucu..

Pemerintah Blora harus bisa meniru beberapa langkah yang sudah diambil oleh Negara yang telah berhasil memanfaatkan dana minyak. Peran Bappeda untuk melakukan perencanaan yang betul-betul matang dengan menjunjung tinggi prinsip partisipatif, transparansi dan accountable. Dana hasil minyak sebisa mungkin dialokasikan ke peningkatan layanan publik, penigkatan layanan pendidikan, kesehatan dan sektor pertanian.

Khusus untuk sektor pertanian harus lebih diperhatikan. karena sektor ini menjadi penompang perekonomian masyarakat Blora. PDRB beberapa tahun terakhir menunjukan bahwa pertanian menempati rangking teratas. (Blora dalam angka tahun 2006) artinya sebagian besar masyarakat Blora menggantungkan hidupnya pada pertanian.

Saat minyak sudah habis, Blora sudah siap, karena tidak terlalu bergantung pada minyak. APBD Kabupaten Blora bisa ditopang dari sektor pertanian. Sehingga Blora terhindar dari kutukan semberdaya alam. Pemerintah masih bisa melayani masyarakatnya dengan layak, bahkan mampu mensejahterakan rakyatnya. Sehingga terwujudlah apa yang disebut gemah ripah loh jinawe ayem tentrem toto raharjo.

Ahmad Solikin

Pegiat Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar