Selasa, 28 Juli 2009

10 Warga Jadi Saksi

Blora,- Sidang perkara penggelapan beras untuk masyarakat miskin (raskin) desa Sempampir Jepon Blora dengan terdakwa Nur Kasih, Kades setempat Kamis (24/7) kemarin memasuki tahap pemeriksaan saksi.

Sidang yang dipimpin Adi Sutrisno dan dua anggota I Dewa Gede S. serta Sri Wahyuni A kemarin Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 10 saksi. Yaitu Murino, Marji, Joyo Saji, Sidik, Salimin, Sukarno, Senik, Sarmi, Noyomo dan Sukirman. Selain Murino sembilan saksi posisinya sama yaitu sebagai korban yang tidak menerima raskin.

Tingkat Perceraian Nomor Tiga Se Jawa Tengah

Tertinggi Alasan Ekonomi

Blora,- Tingkat perceraian di Blora tergolong tinggi. Menurut catatan Pengadilan Agama (PA), Kabupaten Blora menempati urutan ketiga setelah Jepara dan Pati.

A. Mukhidin, sekretaris/panitera PA Blora menuturkan bahwa, mulai Januari sampai dengan Juni 2009 ada 712 pengaduan kasus cerai dan 369 kasus sisa di tahun 2008. Namun, menurutnya, 711 kasus yang secara resmi sudah diputuskan.

Senin, 27 Juli 2009

Dari Desa ke Desa Menuju Istana

Lenggak lenggok berkostum pakaian yang mencolok dan dipadu sampur yang gemulai dengan diringi gamelan yang gagap gemita karena hentakan khas kendang. Begitulah ledhek sering memerankan profesinya. Dengan Gendhing-gendhing yang selalu menjadi pemikat keakraban.

Walapun gending dan lelagon yang dialunkan pesinden acapkalai terasa kuno, akan tetapi seiring zaman tidak jarang ditampilkan lagu-lagu langgam campursari dan dangdut yang dapat membius gerakan kaki dan goyang pinggul penonton.


Sabtu, 18 Juli 2009

YS: 2010, Lanjutkan!

Demokrat: Bupati Jangan Hanya Bangga dengan Golkar

Blora,- Meski pemilihan bupati (pilbup) di Kabupaten Blora masih akan berlangsung dalam waktu yang lama, namun genderang perang menuju kontestasi politik lima tahunan itu sudah dimulai. Jika kemarin-kemarin belum ada orang yang secara terbuka menyatakan siap maju mencalonkan diri menjadi bupati, kini teka-teki itu sudah terjawab.

DPC PDI-P Blora Lapor DPP


Blora,- Kosongnya posisi ketua DPC PDI-P Kabupaten Blora, setelah meninggalnya Hartomi Wibowo segera disikapi oleh kepengurusan DPC.

Sekretaris DPC Partai berlambang moncong putih, Joko Supratno mengatakan telah mengirim surat kepada dewan pengurus daerah (DPD) Jawa Tengah dan dewan pengurus pusat (DPP).

Namun sampai berita ini diturunkan, Joko mengaku belum ada tanggapan dari DPP. “Mungkin masih sibuk dengan pelengkapan bukti-bukti pelanggaran pilpres,” ujarnya Jum’at (17/7) lalu.


Jumat, 17 Juli 2009

Tingginya Dana Bantuan Sosial Rawan Penyelewengan

Yudhi Sancoyo Pinta Media Ikut Awasi

Blora,- Pos dana bantuan sosial pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Blora tahun 2009 tergolong tinggi.

Anggaran yang menurut PP 58 2005 diperuntukakan sebagai banntuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut, jumlahnya mencapai 40,8 M lebih.Angka tersebut naik sekitar 80 % dari tahun sebelumnya.

Rabu, 15 Juli 2009

Hartomy Wibowo Telah Pergi Selamanya

Semoga Allah SWT. memudahkan anak ku untuk menghadap disisi-Nya. Kalimat itu terdengar lirih dari mulut seorang nenek tua yang duduk lunglai di kursi, ketika jenazah almarhum HM. Hartomy Wibowo, SE. tiba. Nenek itu ternyata bukan lain adalah Sulasih, ibu kandung almarhum. Suara tangis terus bersahutan menyambut kedatangan jenazah menandakan kesedihan yang mendalam dari sanak saudara dan kerabat alamarhum. Ahmad Solikin melaporkan dari kediamannya.

Kajari Tahan Penjual Jasa Dana Bansos

Blora- Janji Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, untuk mengusut tuntas kasus penyelewengan dana bantuan sosial (Bansos) APBD I Jateng dismabut baik oleh Kejaksaan Negeri Blora. Terbukti Selasa (23/6) kemarin Kejari telah menahan Haryatno (30), yang diduga melakukan korupsi dana bantuan sosial 13 desa senilai Rp 192 juta.

Sebelum ditahan, warga asal Semarang tersebut diperiksa secara intensif selama kurang lebih empat setengah jam. Dan sebelum itu juga, kejaksaan telah memeriksa 30 saksi antara lain kepala dan perangkat desa serta panitia proyek bansos.

Karena bukti sudah cukup kuwat dan lengkap, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Blora Fitroh Rohcahyadi menetapkan Haryatno sebagai tersangka dan menahannya di Rumah Tahanan Kabupaten Blora. “Tersangka juga telah mengakui perbuatannya,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (30/6) lalu.

Bukti tersebut berupa pernyataan para saksi, yaitu kepala desa, dan pemeriksaan fisik bangunan yang didanai bansos dan juga proposal pengajuan. “Rata-rata kondisi bangunan fisik itu hanya 60 persen dari volume yang direncanakan dalam proposal,”tegasnya.

Haryatno diduga melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Dengan Ancaman hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Menurut Mantan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejari Banyumas itu, Haryatno merupakan penjual jasa atau broker dana bansos dengan cara mendatangi dan meminta salah seorang kepala desa di Kecamatan Ngawen untuk mengoordinasi 12 desa lain yang menginginkan dana bansos.

Tawaran tersebut disertai syarat penerima siap dipotong 40 persen dari dana yang diterimanya. Akhirnya, ketiga belas kepala desa, satu kepala desa berasal dari Kecamatan Jepon dan 12 kepala desa dari Kecamatan Ngawen, itu menerima persyaratan pria yang juga kader PDIP itu..

Pengembangan

Dokumen proposal usulan dana bansos dijadikan bahan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Karena proposal tersebut, selain ditandatangani kepala desa terkait, juga diketahui camat dan PMD. “''Kami akan periksa sebagai saksi karena saya menilai mereka tahu,'' kata Fitroh.(lik)

Nur Kasih Mulai Disidangkan


Terdakwa Mendapatkan Perlakuan Khusus
Blora- Nur Kasih, Kepala Desa Semampir Kecamatan Jepon, terdakwa kasus penggelapan beras untuk masyarakat miskin (raskin) Selasa (7/8) kemarin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Blora.
Dalam persidangan yang dipimpin hakim Adi Sutrisno dan dua anggota I Dewa Gede S. serta Sri Wahyuni A itu, Jaksa Penuntun Umum (JPU), Suryadi dalam membacakan surat dakwaanya menjerat Nur Kasih dengan dakwaan alternatif.
Dakwaan primer, kades prempuan didakwa melanggar pasal 374 KUHP junto pasal 66 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana penggelapan karena jabatan yang ada pada dirinya. Juga, perbuatan itu dilakukan berulang atau berlanjut. Ancaman hukumannya adalah lima tahun penjara. Sedangkan dakwaan subsider melanggar pasal 372 tentang penggelapan biasa. Ancaman hukumannya empat tahun penjara.
Uraian surat dakwaan JPU, menyatakan bahwa, mulai April 2008 hingga April 2009 terdakwa bersalah karena melakukan penggelapan raskin untuk warganya. Jatah raskin untuk 16 warga yang memiliki tanggungan angsuran di program nasional pengentasan kemiskinan (PNPM) tidak dibagikan. “Karena mereka tidak mengangsur tanggungan hutang PNPM, maka jatah raskin dijual untuk mengangsurnya,” kata Suryadi dalam membacakan surat dakwaan.
Raskin yang dijual, lanjutnya, mencapai 756 kg. Beras itu dijual terdakwa dalam tiga tahap yang diantaranya kepada kepada Sri Asmini dengan harga yang fariatif. Total uang yang diperoleh dari hasil penjualan itu lebih dari Rp 3,7 juta.
Setelah hakim menawarkan kepada penasihat hukum terkait eksepsi, tim penasehat hukum terdakwa, Sucipto dan Tatik Sudaryanti langsung menyampaikannya. Dalam eksepsi itu, tim penasehat hukum menyatakan dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap. Alasannya, dakwaan JPU tidak menguraikan peristiwa dengan jelas. Dimana, salah satunya adalah kebijakan penjualan raksin jatah 16 warga yang memiliki utang di PNPM itu bukanlah kebijakan kades, melainkan hasil rapat desa yang dihadiri perangkat, kasun, ketua RT/RW, dan tokoh masyarakat. “Itu bukan kebijakannya, tapi dia hanya menjalankan hasil rapat,” jelas Tatik Sudaryani dalam pembacaan eksepsi.
Dia menyangkal bahwa penjualan raskin itu merugikan warga. Sebab, menurutnya, penerima raskin itu tetap bisa mengambil manfaat berupa terbayarnya angsuran mereka di PNPM. Untuk itu, dia memohon majelis hakim untuk menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum.
Usai mendengar pembacaan dakwaan JPU dan eksepsi PH terdakwa, majelis hakim menyatakan sidang ditunda Senin (6/7) mendatang, dengan agenda tanggapan JPU atas eksepsi PH.
Dapat Perlakuan Khusus
Setelah siding selesai, bukannya terdakwa Nurkasih langsung digiring ke ruang tahanan layaknya tahanan lain, tapi malah dibiarkan leluasa menyapa para koleganya yang hadir dalam sidang tersebut, termasuk ketua paguyuban kepala desa (Praja Mustika) Blora, Edi Sabar.
Dalam pengamatan diva, petugas keamanan dari Kejari Blora juga ikut bercengkerama dengan terdakwa. Dan juga terdakwa sempat makan siang di kantin belakang kompleks gedung PN Blora ditemani PH-nya, Tatik Sudaryanti. “Keamanan mestinya tidak membeda-bedakan tahanan.” Ungkap petugas PN yang keberatan disebut namanya.
Dalam persidangan tersebut, puluhan warga baik yang pro maupun kontra membanjiri PN Bloraa. Akibatnya, ruang sidang utama PN Blora tak mampu menampung pengunjung. “Mereka ada yang ingin melihat kadesnya duduk di kursi pesakitan dan ada juga yang ingin memberi dukungan.” Sebut salah satunya.(lik)

Membangun Kesadaran, Mengantisipasi Kutukan Sumber Daya Alam

Kutukan sumber daya alam atau dalam istilah kerennya dikenal dengan resource course, begitu menghantui negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia dan Blora tentu saja. Sebab minyak adalah sumber alam yang sangat besar nilai ekonominya.

Kutukan sumber daya alam sebenarnya adalah, sebuah kondisi dimana sebuah kawasan, daerah atau negara memiliki sumber alam yang besar. Namun sumber daya alam tersebut tidak dikelola secara baik. Sehingga, ketika habis, habis pula pendapatan. Akibatnya sebuah kawasan, daerah atau negara kembali ke titik nol, artinya tidak punya apa-apa.

Kondisi yang demikian tentu saja sangat menakutkan. Bagaimana tidak, jika betul hal ini terjadi maka, kelaparan dan kemiskinan adalah hal tidak terelakkan. Akibat dari itu tentu saja munculnya penyakit sosial masyarakat.

Dalam tulisan ini penulis akan menyampaikan sebuah kondisi yang menurut penulis hal itu masuk dalam kondisi kutukan sumber daya alam. Dan bagi penulis hal itu cukup memberi pelajaran, agar tidak terulang dan dalam skala yang lebih besar.

Masih jelas dalam ingatan saya, sekitar tahun 1998, tepatnya saat era reformasi, masyarakat sekitar rumah saya ”panen” hutan. Karena kebetulan rumah saya tidak jauh dari hutan.

Setiap pagi, rombongan berjumlah ratusan orang pergi ke hutan menebang kayu. Yang digunakan bukan lagi alat sederhana, semcam kapak atau gergaji manual, tetapi sudah memakai senso (gergaji kayu dari mesin). Sesaat kemudian truk lalu lalang keluar masuk hutan mengangkut kayu jati.

Pagi pergi ke hutan, pulang siang hari, sorenya mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup banyak saat itu. Begitu mudah masyarakat mendapatkan uang. Dengan penghasilan tinggi dalam waktu singkat, gaya hiduppun berubah. Para pemuda menghabiskan uang untuk minum-minuman. Dengan uang yang dimiliki mereka terobsesi membeli barang yang tidak bernilai ekonomi. Uang lebih banyak dibelanjakan untuk kebutuhan konsumtif bukan investasi. Misalnya, membeli sepeda motor dan mobil bermerk dengan harga mahal. Serta membangun rumah dengan model mewah untuk ukuran desa.

Sekitar dua tahun setelah itu kondisi berbalik 180 derajat. Hutan jati habis, penghasilanpun habis. Uang yang pernah dimiliki juga sudah habis karena untuk kebutuhan yang sifatnya komsumtif. Tidak ada hasil investasi atau tabungan untuk menyambung kebutuhan ekonomi. Para pemuda kebingungan mendapatkan pekerjaan. Repotnya lagi selama dua tahun pola hidup sudah terbangun sedemikian rupa.

Solusi terakhir tentu saja adalah menjual kembali barang mewah yang dibeli, tentu saja dengan harga yang sudah sangat jauh dari pembelian pertama. Masyarakat kembali ke titik nol. Kembali tidak memiliki apa-apa.

Dari gambaran kecil tersebut, menurut saya cukup memberi pelajaran yang berarti tentang kutukan sumber daya alam. Artinya, masyarakat harus mulai berfikir membuat sebuah perencanaan yang baik, agar ketika ada temuan sumber daya alam hal tersebut tidak terjadi.

Dalam skala yang lebih besar saya ingin menyampaikan tentang kutukan sumber daya alam ini dalam konteks Blok Cepu. Seandainya benar, bahwa dari Blok Cepu, Blora akan mendapatkan sumber dana yang besar. Ada ketakutan pada saya sebagai warga Blora, Pemkab dan masyarakat akan tergagap-gagap dengan banyaknya dana.

Jika kegagapan itu muncul, biasanya yang terjadi adalah perencanaan pembangunan akan disesuaikan dengan bayangan yang terlintas dalam pikiran pada saat memiliki dana yang besar. Biasanya juga pembangunan yang dilakukan yang bersifat monumental, gedung besar, lapangan olahraga, menara, atau patung-patung.

Untuk menghindari hal tersebut, mulai sekarang yang harus dibangun adalah kesadaran. Sehingga ketika hal itu benar-benar terjadi, kita bisa berfikir dengan akal sehat, bukan dengan keinginan sesaat.

Kesadaran dalam konteks pemerintahan tentu saja adalah sebuah perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang partisipatif substantif. Artinya partisipasi yang sesungguhnya. Perencanaan betul-betul dimulai dari bawah. Dan diorientasikan untuk masyarakat bawah. Bukan partisipasi formalis. Partisipasi yang hanya melibatkan banyak orang, tapi tidak jelas orientasinya.

Kesadaran juga bisa diartikan, merumuskan langkah untuk mencapai transparansi. Bagaimana pemerintah punya inisiasi untuk melakukan transparansi tanpa harus ’dipaksa-paksa’.

Sementara kesadaran pada level masyarakat adalah kemauan untuk mulai membuat sebuah langkah perencanaan bagaimana membantu pemerintah agar perencanaan pembangunan bisa partisipasi dalam arti yang sesungguhnya. Menyusun rumusan untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Serta menyusun langkah untuk meminta transparansi kepada pemerintah.

Jika hal ini sudah mulai dilakukan maka sebenarnya kita sudah mulai masuk dalam kesadaran. Dan bila tidak dilakukan maka kita (pemerintah dan masyarakat) berpotensi untuk terjebak pada ketidak sadaran. Pertanyaannya apakah pemerintah dan masyarakat sudah melakukan itu? Yang bisa menjawab tentu saja hanya pemerintah dan masyarakat sendiri. (*)

Berkaca dari persoalan tersebut, Blora akan mendapatkan uang yang melimpah dari minyak yang ada di blok cepu. Kalau Dana dari migas tidak dikelola dengan baik, hanya digunakan untuk menaikan gaji pegawai, meningkatkan tunjangan pegawai, membeli mobil dinas yang mewah atau hanya digunakan untuk pembagungan yang bersifat mercusuar. Membangun stadion yang megah, membangun gedung pertemuan yang bertarap internasional dan lain sebagainya. Daerah yang terkenal dengan satenya ini, nasibnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang kampung yang kebingungan hanya untuk melanjutkan gaya hidupnya.

Ketika Blok cepu masih beropersi, pemerintah mampu menggaji pegawainya, mampu menganggarkan perawatan mobil dinas, mampu merawat gedung-gedung mewah yang sudah dibangun. Tetapi saat minyak sudah habis, APBD akan kembali seperti sebelum ada dana minyak. Dari mana pemerintah mendapatkan dana untuk melanjutkan kegiatan yang sudah menjadi rutinitas tersebut.

Menghindari Kutukan Sumber Daya Alam

Ada beberapa pengalam yang sudah diterapkan di beberapa Negara untuk keluar dari kutukan sumber daya alam, seperti yang telah dilakukan oleh Norwegia. Pemerintahnya menggunakan dana hasil minyak untuk investasi produksi non migas, sebagian yang lain disimpan di bank sebagai cadangan masa depan ysng diperuntukan anak cucu..

Pemerintah Blora harus bisa meniru beberapa langkah yang sudah diambil oleh Negara yang telah berhasil memanfaatkan dana minyak. Peran Bappeda untuk melakukan perencanaan yang betul-betul matang dengan menjunjung tinggi prinsip partisipatif, transparansi dan accountable. Dana hasil minyak sebisa mungkin dialokasikan ke peningkatan layanan publik, penigkatan layanan pendidikan, kesehatan dan sektor pertanian.

Khusus untuk sektor pertanian harus lebih diperhatikan. karena sektor ini menjadi penompang perekonomian masyarakat Blora. PDRB beberapa tahun terakhir menunjukan bahwa pertanian menempati rangking teratas. (Blora dalam angka tahun 2006) artinya sebagian besar masyarakat Blora menggantungkan hidupnya pada pertanian.

Saat minyak sudah habis, Blora sudah siap, karena tidak terlalu bergantung pada minyak. APBD Kabupaten Blora bisa ditopang dari sektor pertanian. Sehingga Blora terhindar dari kutukan semberdaya alam. Pemerintah masih bisa melayani masyarakatnya dengan layak, bahkan mampu mensejahterakan rakyatnya. Sehingga terwujudlah apa yang disebut gemah ripah loh jinawe ayem tentrem toto raharjo.

Ahmad Solikin

Pegiat Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora.